1. Shalat sunnah SELALU dilakukan sendiri2 dan TIDAK PERNAH berjamaah
2. Kebiasaan shalat Taraweh merupakan Sunnah Umar bin Khatab dan BUKAN SUNNAH RASULULLAH SAW
selengkapnya, silahkan disimak yang berikut ini…
===========================
Kalau kita saksikan dikebanyakan masjid-masjid
saudara kita, Ahlussunnah, kita sering menjumpai pada malam-malam bulan
Ramadhan terdapat ritual shalat berjamaah yang jumlah raka’atnya
sebanyak 8 rakaat, 20 raka’at atau 36 rakaat. Konon Rasulullah Saw hanya
mengerjakan 8 rakaat secara berjamaah kemudian melanjutkannya di rumah.
Hal ini juga diikuti oleh para sahabat.
Namun, bagaimana sebenarnya hukum shalat
Tarawih ini? Berikut ini mari kita menyimak tulisan berikut ini dengan
tajuk “Bid’ah yang Indah itu..
Dari kitab Sahih Bukhari[1] dan Sahih Muslim[2] kita
dapat mengambil pelajaran bahwa pada zaman Nabi Muhammad Saw dan pada
zaman kekhalifahan Abu Bakar serta pada beberapa waktu pemerintahan
Umar, tidak terdapat ritual shalat Tarawih. Hingga pada suatu waktu dari
salah satu malam-malam bulan Ramadhan, Umar masuk ke Masjid dan
menyaksikan masyarakat melakukan shalat secara sendiri-sendiri
(munfarid). Ia juga melihat di salah satu sudut masjid itu, ada
sekelompok kaum muslim melaksanakan shalat secara berjamaah.
Kemudian Umar berkata, “Kalau semua orang melaksanakan shalat secara berjamaah pasti akan menarik. Lalu ia
mengumpulkan mereka untuk melaksanakan shalat di bawah pimpinan seorang
imam (Ubay bin Ka’ab). Pada malam berikutnya ia masuk masjid itu dan
menyaksikan jamaah masjid melaksanakan shalat secara berjamaah, seraya
mengucapkan “Ni’mal bid’atu hadzihi“[3].
(Alangkah indahnya bid’ah ini). Jadi pendapat yang mengatakan bahwa
bilangan rakaat salat Tarawih itu sebanyak 20 rakaat merupakan pendapat
Khalifah Umar bin Khatab.
Al-’Allamah al-Qasthalani, ketika sampai
pada ucapan Umar dalam hadits tersebut (yakni alangkah baiknya bid’ah
ini) berkata: “Ia (Umar) menamakannya bid’ah, sebab Rasulullah Saw
sendiri tidak menjadikannya sebagai sunnah kepada mereka untuk dilakukan
secara berjamaah. Hal itu juga belum pernah terjadi pada masa Khalifah
Abu Bakar, baik tentang waktu pelaksanaannya, atau tentang
pelaksanaannya pada tiap malam Ramadhan, ataupun tentang jumlah
rakaatnya.[4]
Dalam kitab Fiqh ‘alal Madzahib al Arba’ah[5] ihwal
shalat Tarawih, “Adalah mustahab apabila shalat Tarawih ini
dilaksanakan secara berjamaah, namun jumlah rakaatnya bukan 20 rakaat
dan baru beberapa lama setelah itu ditambahkan. Dari kitab ini juga Anda
bisa mengetahui seluk beluk salat Tarawih ini. Penyusun kitab ini,
Abdul Rahman al-Jazairi menjelaskan bahwa: “Syaikhan, (Imam Bukhari dan
Muslim) meriwayatkan sebuah hadits bahwa Rasulullah Saw keluar dari
rumahnya pada tengah malam di bulan suci Ramadhan, yaitu pada malam
ketiga, kelima dan kedua puluh tujuh, secara terpisah. Kemudian beliau
Saw shalat di dalam masjid. Jamaah masjid pun turut pula melakukan
shalat di dalam masjid beliau. Ketika itu beliau Saw melakukan shalat
sebanyak 8 rakaat. Tetapi kemudian mereka menyempurnakan shalat mereka
di rumah mereka masing-masing…” Kemudian Abdul al-Jaziri menyimpulkan
pandangannya sendiri dari riwayat tersebut dan berkata: “Dari riwayat
ini jelaslah bahwa Nabi Saw telah menetapkan kesunahan shalat Tarawih
secara berjamaah. Tetapi beliau Saw tidak melakukannya -bersama-sama
dengan mereka- sebanyak 20 rakaat, sebagaimana yang dilakukan pada masa
sahabat (pasca wafat Rasulullah Saw) dan pada masa-masa selanjutnya
hingga sekarang ini. Setelah keluar pada tiga malam itu, beliau Saw
tidak keluar lagi karena takut nantinya shalat itu akan diwajibkan atas
mereka sebagaimana yang juga pada riwayat lainnya. Dan telah jelas pula
bahwa jumlah rakaatnya tidak terbatas hanya 8 rakaat saja sebagaimana
yang beliau lakukan bersama mereka. Dalilnya adalah bahwa mereka
menyempurnakannya di dalam rumah-rumah mereka. Sementara perbuatan umar
menjelaskan bahwa jumlah rakaatnya adalah 20. Dimana ketika itu (ketika
Umar berkuasa sebagai Khalifah) dia menganjurkan kaum muslimin agar
melakukan shalat Tarawih di dalam masjid sebanyak 20 rakaat, dan hal itu
disetujui oleh para sahabat Nabi Saw.
Pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz
penambahan rakaat shalat Tarawih terjadi lagi sampai 36 rakaat. Tujuan
penambahan tersebut ini untuk menyesuaikan keutamaan dan kemuliaan
penduduk kota Makkah. Karena mereka melakukan thawaf (mengelilingi
Ka’bah) satu kali setelah setiap 4 rakaat. Berdasarkan hal itu, Umar bin
Abdul Aziz menganggap perlu untuk menambahkan dalam setiap thawaf
sebanyak 4 rakaat”.[6]
Dalam salah satu kitab fiqih Sunni “al-Mughni“,
ulama Ahli Sunnah yang bernama al-Kharqi berata bahwa shalat Tarawih
itu dilakukan sebanyak 20 rakaat. Ibnu Quddamah, seorang ulama Sunni
terkenal lainnya berkata di dalam syarahnya bahwa menurut pandangan Imam
Ahmad bin Hanbal, yang lebih kuat bahwa shalat Tarawih itu berjumlah 20
rakaat. Hal ini persis dengan pendapat as-Tsauri, Abu Hanifah dan Imam
Syafi’i. Namun Imam Malik berpendapat bahwa shalat Tarawih itu berjumlah
36 rakaat. Dia mengatakan bahwa hal itu sesuai dengan perbuatan
orang-orang Madinah.
Dalam pandangan madzhab Ahli Sunnah,
keotentikan kitab al-Bukhari menempati urutan ke dua setelah Al-Qur’an
dan sangat banyak yang memberikan komentar atas kitab ini. Dalam kitab
ini, para komentator itu memberikan pandangan beragam tentang jumlah
rakaat yang ada pada salat Tarawih, sebagian mereka mengatakan bahwa
jumlah rakaat shalat Tarawih itu adalah 13 rakaat, yang lainnya
mengatakan 20 rakaat, kelompok yang lain berpendapat 24 rakaat, ada yang
mengatakan 28 rakaat, sebagian lagi berujar 36 rakaat, ada juga yang
mengatakan 38 rakaat, sebagiannya lagi mengatakan 39 rakaat, pendapat
selanjutnya adalah 41 rakaat, pendapat lainnya adalah 47 rakaat, dan
begitu seterusnya.
Ibnu Abdil Bar menulis: “Dialah Umar yang
telah menyemarakkan bulan suci Ramadhan dengan shalat yang jumlah
rakaatnya genap (yakitu shalat Tarawih)”[7]
Al-Allamah Abu Al-Walid Muhammad bin
Syuhnah berkata: Dan dia pulalah orang pertama yang menyelenggarakan
shalat Tarawih berjamaah dengan dipimpin oleh seorang imam….”[8]
As-Suyuthi menulis di dalam kitabnya Tarikhul Khulafa’ tentang
hal-hal baru yang diciptakan oleh Umar, diantaranya ia berkata: “Dialah
orang pertama yang mentradisikan shalat Tarawih pada malam-malam bulan
Ramadhan”
Imam al-Bukhari -setelah meriwayatkan
sebuah hadits Rasulullah Saw yang berbunyi: “Barangsiapa yang melakukan
shalat (sunat) pada malam bulan Ramadhan……dst”- berkata: “….Sedemikian
itulah keadaannya sampai Rasulullah Saw wafat, dan juga pada masa
Khalifah Abu Bakar serta sebagian dari masa Khalifah Umar. (Yakni, yang
pada masa-masa itu belum dikenal “shalat Tarawih”[9]
Muslim pun -di dalam kitab Shahih-nya- mengutip hadits yang sama dan kemudian memberikan komentar yang sama.[10]
Kiranya perlu diingat bahwa setelah pengarang kitab Fiqh ‘alal al Arba’ah menjelaskan permasalahan ini, ia kemudian memberikan pembenaran atas bid’ah yang dilakukan oleh Umar ini:[11]
Mengapa bid’ah ini diperbolehkan? Bukankah
bid’ah yang sangat berpengaruh ini merupakan bentuk kesesatan? Apakah
merupakan pengecualian yang berasal dari Nabi Saw?
Apakah dengan digantinya 11 rakaat sebagai
shalat malam, 20 rakaat yang dilakukan tidak bertentangan dengan
petunjuk yang diberikan oleh Nabi Saw?
Apakah menghatamkan seluruh Al Qur’an di antara jamaah masjid sebagai sebuah ibadah yang sunah dan bukan merupakan suatu bid’ah?
Apakah Umar berkata, “Lakukan 20 rakaat atau khatamkan Al Qur’an bagi mereka?
Apakah Umar memerintahkan supaya shalat Tarawih dilakukan di seluruh masjid?
Jawaban dari seluruh pertanyaan ini adalah
iya. Shalat Tarawih yang digagas oleh ‘Umar ini merupakan suatu bid’ah.
Oleh karena itu dalam fiqh Ahlul Bayt As terdapat pelarangan untuk
melaksanakan shalat Tarawih karena tidak berasal dari sunnah Nabi Saw,
melainkan merupakan sunnah Khalifah Kedua yang tidak dapat dijadikan
sebagai sumber hukum.
Tentang solat malam pada bulan Ramadhan
(qiyamulail fi Ramadhan) menurut pandangan madzhab Ahlulbait As, memang
berbeda dengan madzhab Sunni, baik dalam jumlah rakaatnya maupun dalam
waktu dan doa-doa dan cara-cara lainnya. Aimah As dan ulama mereka tidak
berbeda pendapat mengenai jumlah rakaat dan cara melakukan
shalat-shalat malam Ramadhan tersebut. Maksumin As dan para ulama
AhlulbaitAs melakukan shalat atau qiyamulail pada bulan suci Ramadhan
sebanyak seribu rakaat, selama sebulan penuh. Semenjak malam pertama
bulan Ramadhan mereka melakukan solat sebanyak dua puluh rakaat. Hal ini
mereka lakukan hingga malam ke dua puluh, di mana jumlah keseluruhan
dari solat yang mereka lakukan adalah empat ratus rakaat. Selebihnya,
yaitu dimulai semenjak malam ke-21 sampai malam terakhir, mereka
melakukannya tiga puluh rakaat. Jadi selama sepuluh malam berjumlah tiga
ratus rakaat. Sedang pada tiga malam ganjil, yaitu malam ke 19, 21 dan
23, mereka menambahkannya menjadi seratus rakaat, yang jumlah
keseluruhan pada tiga malam ini adalah tiga ratus rakaat. Menurut
pandangan madzab Ahlulbait, tiga malam ganjil adalah malam-malam
Lailatul Qadar dan mempunyai keutamaan dan kemuliaan ketimbang seribu
bulan ibadah. Pada malam-malam lailatul Qadar amalan-amalan yang sangat
dianjurkan di antaranya adalah mengadakan perenungan terhadap keadaan
diri sendiri, mengadakan majelis-majelis keilmuan, selalu mengingat
Allah Swt dengan zikir-zikir yang telah diajarkan oleh para Imam As,
bertawassul kepada Ahlulbait As, berdoa dengan khusyu dan lainnya.
———————————-
[1] . Sahih Bukhari, Kitab Shalat Taraweh, Hal. 322. Jil, No. 2009-2012
[2] . Sahih Muslim, Bab Targhib fi Qiyam Ramadhan wa huwa Tarawih, Hal. 334, No. 756
[3] . Sahih Bukhari, Kitab Shalat Tarawih, Hal. 322, No. 2010
[4] . Irsyadu Sahih Bukhari, 5/4
[5] . Jil. 1, Pembahasan tentang Shalat Matbu’, Shalat Tarawih, Hal. 340
[6] . Al Mughni, Jil. 6. Hal. 137-138
[7] . Isti’ab, Ibnu Abdil Bar
[8] . Raudhatal Manadhir, Jil. 2, Hal. 122
[9] . Sahih Bukhari, Juz 1, Pasal Solat Taraweh
[10] . Sahih Muslim, Juz 1, Anjuran Shalat Malam pada Bulan Ramadhan
[11] . Ibid
No comments:
Post a Comment