Saturday 5 May 2012

Haji – Hajj – Hujjah

Kajian lagi ngebahas mengenai zionologi. Musuhnya sang messiah. Ketika tiba di era Ibrahim, tepatnya saat nabi Ibrahim membagun Ka’bah, kajian menjadi seru begitu membahas makna haji yang sesungguhnya.

Kebanyakan kita memahami haji sebagai ibadah individu yag penuh ritual ina ini itu. Punya duit – daftar haji – bernagkat – jalanin ritual – pulang dengan gelar haji atau hajjah. Parahnya lagi, sekarang malah haji sudah seperti tamasya. Pilih ONH plus biar dekat dengan Masjidil Haram dan cepat menyambut waktu shalat; atau ONH biasa yang jaraknya beberapa kilometer dari Masjidil Haram. Nyatanya, pemahaman haji macam ini adalah salah besar. Kaget? nggak juga. Tapi apa ya makna haji sesungguhnya? bingung kan?…

Dari kebiasaan pemahaman dimana haji adalah ibadah invidu, sejatinya haji merupakan ibadah kelompok. Lebih jauh lagi, haji merupakan gerakan politik, ibadah politik. Ibadah haji sudah ada sejak jaman nabi Ibrahim, dan inti dari haji tersebut adalah pemeliharaan hujjah atas kepatuhan umat pada perintah Allah. Perintah Allah yang mana? Perintah Allah mengenai institusi kenabian atau imamah. Siapa bilang kalo sudah naik haji masuk surga? Allah tidak butuh ritual sebagai jaminan umatnya akan masuk surga. Maksudnya, pada musim haji seluruh umat di dunia berkumpul pada porosnya untuk bersama sama meningkatkan pengetahuan mengenai langkah-langkah yang telah ditempuh (perkembangan) zionis dan memikirkan jalan keluarnya bersama-sama. Perang terhadap zionis sudah dilakukan sejak jaman nabi Idris, dan tidak akan berakhir sebelum Imam Mahdi membereskan segala perkara. Zionisme sendiri intinya mengingkari konsep kenabian – pemerintahan Allah dimana Allah menjadikan nabi dan imam sebagai pemimpin di dunia ini. Sehingga haji, merupakan bukti penjagaan hujjah ummatnya atas janji kepatuhan terhadap perintah Allah tersebut.

Maka menjadi jelas mengapa sebelum imam Hussain berperang di Karbala pd bulan Muharram, saat musim haji tahun itu beliau beranjak ke Mekkah mencari mereka yang siap berperang atau bergabung dengan pasukannya. Inilah dia makna berhaji, berasal dari kata hujjah, Beliau menagih janji ummat untuk bergabung dengan pasukannya demi membela imamah, menegakkan pemerintahan Allah yang sudah sedemikian rupa dilecehkan dan di ambang kemusnahan. Nyatanya? tidak banyak yang bergabung. Sebagian besar memilih untuk tetap menjalankan ibadah haji tanpa mengindahkan ajakan putera Rasulullah SAW, sayyidina Hussain bin Ali bin Abi Thallib.  Bayangkan, ajakan putera Rasulullah SAW bisa diabaikan hingga beliau mengorbankan dirinya bukan untuk mencari titel, harta, atau jabatan; melainkan untuk semata-mata menegakkan kembali ajaran Allah. Harus dengan tragedi Karbala baru mata manusia akan terbuka dan kembali menjadi jelas mana yang benar dan mana yang bathil. Kurang jauh apalagi kita dari memahami makna haji yang sesungguhnya????

Bahasan singkat tersebut membuka mata untuk memahami lebih jauh intisari ibadah haji sesungguhnya. Jauh dari urusan kesiapan materi, kesiapan fisik, kelancaran melafalkan doa dan dzikir, nyatanya ibadah haji adalah pembuktian atas kesetiaan kita memegang janji untuk mematuhi ajaran Allah, menerima konsep kenabian, imamah. Perlu diingat bahwa imam Mahdi senantiasa berada di Mekkah pada musim haji menanti umatnya yang dengan tulus memenuhi janji kepatuhannya terhadap institusi kenabian – imamah dimana beliaulah yang sesungguhnya berhak sebagai pemimpin di muka bumi.

Ya Mahdi, ya Mahdi, ya Mahdi..Jadikanlah kami salah satu diantara mereka yang memenuhi janjinya.

Allahumma shalli alaa Muhammad, wa aali Muhammad….3x

Ilir Ilir

Sekarang giliran lagu ilir-ilir .. (orig post here)

===========
Tak banyak yang menyadari bahwa sesungguhnya tembang ini bukan sekedar tembang dolanan biasa. Ada makna mendalam terkandung dalam tembang sederhana ini. Sekalipun demikian tidak ada yang tahu pasti siapa yang menciptakan tembang ini. Karena tembang ini sudah ada sejak ratusan tahun lalu.

Ada yang berpendapat penciptanya adalah salah seorang dari Wali Sanga atau Sembilan Wali yang terkenal sebagai para penyebar Islam di tanah Jawa. Dari kesembilan waliyullah itu ada dua orang yang disebut-sebut sebagai penciptanya yaitu Sunan Ampel dan Sunan Kalijaga.

Pendapat itu bisa dimengerti, dilihat dari kedekatan Sunan Kalijaga dengan budaya Jawa dan fakta bahwa beliaulah pencipta beberapa kesenian Jawa yang digunakan sebagai alat syiar agama Islam, maka bisa dianggap bahwa Sunan Kalijagalah yang merupakan pencipta tembang ini.

Berikut ini adalah penjabaran dari makna yang terkandung dari tembang Ilir-ilir itu, baik berupa makna harfiah atau terjemahan langsungnya dalam bahasa Indonesia (BI), maupun makna sesungguhnya (MS) yang tersirat di dalamnya.

Ilir-ilir

Ilir-ilir, Ilir-ilir, tandure (hu)wus sumilir
(BI) Bangunlah, bangunlah, tanamannya telah bersemi
(MS) Kanjeng Sunan mengingatkan agar orang-orang Islam segera bangun dan bergerak. Karena saatnya telah tiba. Karena bagaikan tanaman yang telah siap dipanen, demikian pula rakyat di Jawa saat itu (setelah kejatuhan Majapahit) telah siap menerima petunjuk dan ajaran Islam dari para wali.

Tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar
(BI) Bagaikan warna hijau yang menyejukkan, bagaikan sepasang pengantin baru
(MS) Hijau adalah warna kejayaan Islam, dan agama Islam disini digambarkan seperti pengantin baru yang menarik hati siapapun yang melihatnya dan membawa kebahagiaan bagi orang-orang sekitarnya.

Cah angon, cah angon, penek(e)na blimbing kuwi
(BI) Anak gembala, anak gembala, tolong panjatkan pohon belimbing itu.
(MS) Yang disebut anak gembala disini adalah para pemimpin. Dan belimbing adalah buah bersegi lima, yang merupakan simbol dari lima rukun islam dan sholat lima waktu. Jadi para pemimpin diperintahkan oleh Sunan Kalijaga untuk memberi contoh kepada rakyatnya dengan menjalankan ajaran Islam secara benar. Yaitu dengan menjalankan lima rukun Islam dan sholat lima waktu.

Lunyu-lunyu penek(e)na kanggo mbasuh dodot (s)ira
(BI) Biarpun licin, tetaplah memanjatnya, untuk mencuci kain dodot mu.
(MS) Dodot adalah sejenis kain kebesaran orang Jawa yang hanya digunakan pada upacara-upacara atau saat-saat penting. Dan buah belimbing pada jaman dahulu, karena kandungan asamnya sering digunakan sebagai pencuci kain, terutama untuk merawat kain batik supaya tetap awet.
 Dengan kalimat ini Sunan Kalijaga memerintahkan orang Islam untuk tetap berusaha menjalankan lima rukun Islam dan sholat lima waktu walaupun banyak rintangannya (licin jalannya). Semuanya itu diperlukan untuk menjaga kehidupan beragama mereka. Karena menurut orang Jawa, agama itu seperti pakaian bagi jiwanya. Walaupun bukan sembarang pakaian biasa.

Dodot (s)ira, dodot (s)ira kumitir bedah ing pingggir
(BI) Kain dodotmu, kain dodotmu, telah rusak dan robek
(MS) Saat itu kemerosotan moral telah menyebabkan banyak orang meninggalkan ajaran agama mereka sehingga kehidupan beragama mereka digambarkan seperti pakaian yang telah rusak dan robek.

Dondomana, jlumatana, kanggo seba mengko sore
(BI) Jahitlah, tisiklah untuk menghadap (Gustimu) nanti sore
(MS) Seba artinya menghadap orang yang berkuasa (raja/gusti), oleh karena itu disebut ‘paseban’ yaitu tempat menghadap raja. Di sini Sunan Kalijaga memerintahkan agar orang Jawa memperbaiki kehidupan beragamanya yang telah rusak tadi dengan cara menjalankan ajaran agama Islam secara benar, untuk bekal menghadap Allah SWT di hari nanti.

Mumpung gedhe rembulane, mumpun jembar kalangane
(BI) Selagi rembulan masih purnama, selagi tempat masih luas dan lapang
(MS) Selagi masih banyak waktu, selagi masih lapang kesempatan, perbaikilah kehidupan beragamamu.

Ya suraka, surak hiya
(BI) Ya, bersoraklah, berteriak-lah IYA
(MS) Disaatnya nanti datang panggilan dari Yang Maha Kuasa nanti, sepatutnya bagi mereka yang telah menjaga kehidupan beragama-nya dengan baik untuk menjawabnya dengan gembira.
Demikianlah petuah dari Sunan Kalijaga lima abad yang lalu, yang sampai saat ini pun masih tetap terasa relevansinya. Semoga petuah dari salah seorang waliyullah kenamaan ini membuat kita semakin bersemangat dalam menjalankan ibadah kita di bulan yang penuh rahmat ini. Amin, amin, amin.

Tombo Ati

Banyak persepsi orang tentang lagu ini. Dulu saya nggak tlalu pikirin. Okelah ini lagu religi, so wat? Sekarang lain cerita, setelah baca maknanya ini.

As always, originals post here

====================
Tidak banyak yang menetahui bahwa syair ini digubah oleh Sunan Bonang (1465-1525). Salah satu Wali Songo yang banyak berdakwah melaui kebudayaan. Seorang guru yang telah menginsyafkan dan mendidik seorang ‘perampok budiman’ bergelar Brandal Lokajaya yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Kalijaga, anggota Wali Songo yang paling banyak disebut-sebut dalam sejarah kerajaan-kerajaan Islam di tanah Jawa.

“Tombo Ati” atau “Obat Hati”, sebuah syair sederhana tetapi sungguh berat maknanya. Bahkan hampir menjadi sebuah utopia untuk bisa mewujudkannya dalam kehidupan kita di jaman ini. Bahkan disebutkan di penghujung syair, “Salah sawijine sopo bisa ngelakoni, InsyaAllah Gusti Pangeran ngijabahi..” Cukup amalkan salah satunya, InsyaAllah Tuhan akan mengijabah. Mengapa utopia? Mari kita perhatikan apa sajakah lima perkara yang menjadi obat hati itu.

1. Moco Quran sak maknane (membaca Al Quran dengan maknanya)
Membaca Quran tentu tidakcukupdengan melafadzkannya. Jika sekedar melafadzkannya saja, maka kita tidak akan dapat maknanya. Salah-salah Al Quran justru mengutuki kita ketika kita membaca ayat yang menceritakan tentang penghuni neraka sebagai ancaman tapi kita tidak merasa ancman itu untuk kita, merasa diri aman. Padahal kita tidak pernah tahu bagaiamana kesudahan hidup kita nanti.
Ilmu Al Quran ini sebenarnya khazanah ilmu. Ilmunya berlapis lapis. Dari ilmu tentang Al Quran itu sendiri, kemudian ilmu tentang pembagian ayat-ayat dan sejarah diturunkannya, lalu tentang perintah dan larangan Allah, ilmu-ilmu mengenai sejarah umat yang lalu, khabar masa depan, sampai ke perkara yang ghaib seperti malaikat,jin,surga neraka,dan tentu saja tentang Allah itu sendiri. Dari ilmu-ilmu seperti fisika, biologi, sejarah, geografi, politik, ekonomi sampai ke formulasi-formulasi khusus untuk menyelesaikan permasalahan umat di suatu jaman.

Belum lagi ilmu-ilmu implisit seperti hukum-hukum yang hanya bisa tergali oleh seorang mujtahid. Seorang mujtahid adalah seseorang yang memenuhi kriteria untuk dapat dengan sah menarik hukum langsung dari Al Quran dan Hadits. Imam Suyuti menyaratkan 15 kriteria, di antaranya adalah menguasai 80 cabang ilmu Al Quran seperi Nasikh-Mansukh (dalil penghapus-dalil terhapus), ‘Aam Khas(umum-khusus) dsb, 100 cabang ilmu Sunnah, Ushul Fiqh (metodologi perumusan hukum), bahasa Arab, Nahu dan Sharaf (tata bahasa), Ma’ni (makna huruf), serta Ijma dan Khilaf (kesepakatan dan perbedaan rumusan hukum yang telah ada). Begitu sulitnya memenuhi kriteria ini sehingga sepanjang sejarah Islam hanya ada 11 mujtahid mutlak yang kemudian diakui sebagai imam mahzab.

Begitu juga juga ilmu-ilmu implisit yang jika diekplisitkan menjadi seperti ilmu yang dimiliki oleh seorang wali Allah bernama Asif Barkhaya di jaman Nabi Sulaiman. Dengan izin ALlah, beliau mampu mengungguli kemampuan bangsa jin dalam memindahkan singgasana Ratu Balqis dari Yaman ke tempat Nabi Sulaiman di Palestina yang jaraknya hampir 5000 km.

“Berkatalah seseorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab, “Aku akan membawa singgasana itu sebelum matamu berkedip” [An Naml: 27]

Ternyata membaca makna Al Quran bukan perkara yang mudah. Tidak sembarang orang mampu menggali mutiara-mutiara Al Quran yang berharga. Mutiara adalah sesuatu yang tersembunyi yang tidak mudah diperoleh. Oleh karena itu, jika kita ingin mencari solusi paling tepat bagi permasalahan umat di suatu jaman, setidaknya kita harus mencari ulama bertaraf mujaddid di jaman itu yang benar-benar bisa dengan tepat moco Quran sak maknane.

2. Sholat wengi lakonono (sholat malam dirikanlah)
Sholat adalah suatu ibadah yang sangat berat. Berat untuk melaksanakannya, berat ketika melaksanakannya, berat dalam memenuhi tuntutannya. Ketika kita sedang sibuk dengan dunia, mudahkah kita meninggalkannya untuk mendirikan sholat di atas waktunya? Begitu juga dengan sholat malam yang sunnat saja hukumnya. Tentu bukan perkara yang mudah untuk menjalankannya,apalagi untuk bisa konsisten/ istiqamah.

Sholat juga berat dalam pelaksanaanya. Berakhlak dengan Allah ketika menghadap-Nya? Sedangkan menghadap raja saja sesorang akan begitu bersungguh-sungguh, berakhlak, penuh hormat, disertai rasa harap dan cemas. Menghadap Raja Segala raja, tentunya lebih-lebih lagi. Ketika bertakbir, terasakah Tuhan adalah segala-galanya? Ketika tubuh kita ruku, apakah hati kita ikut ruku? Ketika tubuh kita sujud, apakah hati kita ikut sujud? Merendahkan diri serendah-rendahnya, menghina diri di hadapan-Nya, merasa diri lemah dan kerdil selayaknya seorang hamba, membuang semua mazmumah (sifat jahat) dan kesombongan?

Karena itulah dari sholat yang dihayati dan tepat lahir batinnya akan muncul sebuah pribadi agung. Pribadi yang subur dengan mahmudah (sifat terpuji), ikhlas, tawadhu’, merendah diri, berakhlak dan berkasih sayang sesama manusia. Itulah beratnya tuntutan sholat. Karena itulah dikatakan sholat yang benar mampu mencegah manusia dari berbuat kejahatan.

Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (sholat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain).
[Al Ankabut: 45]

Jika sholat kita belum mengubah perangai kita, belum mencegah kita dari melakukan kejahatan, korupsi, penipuan, menyakiti sesama, tentu sholat-sholat kita belum menjadi tombo ati.

3. Wong kang sholeh kumpulono (berkumpullah dengan orang sholeh)
Siapakah yang dikatakan orang sholeh? Predikat sholeh ternyata tidak bisa dinilai dari lahiriyah semata. Terlihat lebih taat bukan ukuran untuk menilai kesholehan seseorang. Untuk dapat memahami predikat sholeh ini kita perlu mengetahui peringkat-peringkat iman dan peringkat-peringkat nafsu.

Di dalam Islam dikenal ada lima peringkat iman,yaitu:

a.Iman Taqlid. yaitu sekedar mengakui keberadaan Tuhan tetapi tidak memiliki dasar ilmu atau argumentasi. Mungkin ikut kata orang tua, mereka katakan ada Tuhan, ya Tuhan adalah kalau begitu. Jika ditanyakan apa buktinya Tuhan itu ada, tidak bisa menjawab.

b. Iman Ilmu. Di peringkat ini iman seseorang baru dapat dikatakan sah. Iman yang dimiliki sudah berdasrkan pada ilmu. Salah satu kaedah/ metode untuk mengesahkan iman adalah dengan Kaedah Sifat 20. Sebuah formulasi untuk membantu kita mengenal Allah yang disusun oleh Abu Hassan Al Asy’ari, mujaddid di abad ke-4 Hijriyah. Dengan demikian orang yang mengerti tentang 20 sifat wajib bagi Allah (beserta 20 sifat mustahil dan 1 sifat mubah) dapat dikatakan tahu tentang Allah.

c. Iman Ayan. Sekedar tahu tentang Allah saja belum mampu menjaga seseorang dari bebuat dosa dan kejahatan karena ilmu itu masih berada di akal. Belum jatuh ke hati. Tahu Tuhan berbeda dengan kenal Tuhan. Seseorang yang kenal Tuhan sudah hidupdalam hatinya rasa cinta dan takut Tuhan. Senantiasa merasa dalam penglihatan, pendengaran dan pengetahuan-Nya. Terasa peranan dan kerja-kerja Tuhan. Jiwanya hidup denga rasa ber-Tuhan dan rasa kehambaan. Iman di akal telah dihayati oleh hati. Di peringkat inilah, seseorang akan terpelihara dari berbuat dosa dan kesalahan.
Sesungguhnya orang beriman melihat dosa seperti ia berada di lereng gunung dan takut kalau-kalau gunung itu menimpanya. [H.R Bukhari]

d. Iman Haq. Inilah peringkat iman para Auliya (wali Allah). Perkara dunia ini tidak lagi menipu mereka dan tidak menghalangi ‘penglihatan’ mereka kepada Tuhan. Mereka selalu merasakan peranan dan kerja Tuhan dalam setiap perkara. Dunia ibarat najis bagi mereka, walaupun dunia berada tangan mereka. Bahkan mereka menghidari perkara yang mubah karena hanya akan memperlama perhitungan/ hisab di akhirat. Para sahabat Rasulullah umumnya berada di peringkat ini.

e. Iman Hakikat. Peringkat iman tertinggi, peringat para Nabi, Rasul dan wali-wali besar termasuk diantaranya Khulafaur Rasyidin. Mereka senantiasa tenggelam dalam kerinduan dan cinta kepada Allah setiap saat. Mereka inilah golongan super-scale di akhirat, yang dijanjikan Syurga tanpa hisab.
Sedangkan tujuh peringkat nafsu:

a. Nafsu Ammarah. Keadaan nafsu seseorang yang senantiasa mengajak berbuat kejahatan. Bahkan bangga dengan kejahatan itu. Misalkan setelah memukul orang, diceritakannya pula dengan bangga kepada orang lain. Jika berhasil menipu orang, terasa hebat dan bangga dengan perbuatan itu. Jika mendapat perlakuan jahat, maka hal itu akan menjadi pembenaran untuk menyakiti orang lain atau diri sendiri.

“Sesungguhnya nafsu itu sangat mengajak kepada kejahatan” [Yusuf: 25]

b. Nafsu Lawammah. Nafsu yang ketika berbuat dosa atau kejahatan maka akan terasa berdosa dan sedih. Meskipun begitu masih akan dilakukannya lagi perbuatan itu karena lemah bermujahadah (berjuang) melawan nafsu.

c. Nafsu Mulhamah. Di peringkat ini nafsu seseorang sudah tunduk kepada apa yang dikehendaki Tuhan. Hanya saja jika keadaan lingkungan berubah, masih bisa terpengaruh. Jika terbuat dosa, akan hilang kebahagiaan. Ia akan sangat menyesal dan segera bertaubat.

d. Nafsu Mutmainnah. Nafsu mutmainnah adalah nafsu yang tenang. Tidak lagi terpengaruh oleh kesenangan atau kesedihan, pujian maupun hinaan. Inilah nafsu wali-wali kecil.

“Hai jiwa yang tenang (mutmainah). Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya” [Al Fajr 27-28]

e. Nafsu Radhiah. Nafsu yang telah ridho dengan segala ketentuan Tuhan.

f. Nafsu Mardhiah. Nafsu yang Tuhan pun redho dengannya. Jika ia menghendaki sesuatu maka Allah akan mewujudkannya.

g. Nafsu Kamillah. Peringkat nafsu para Rasul dan Nabi. Nafsu mereka senantiasa terpimpin oleh wahyu.

Dengan mengacu pada peringkat-peringkat iman dan nafsu di atas, sebenarnya yang dimaksud dengan predikat sholeh adalah mereka yang setidaknya memiliki peringkat iman Ayan dan nafsu Mulhammah. Lebih tinggi dari peringkat itu tentu lebih dari sekedar sholeh, mereka adalah orang-orang bertaqwa yaitu para Muqarabin (orang dekat/karib dengan Allah) dan para Shadiqqin (orang yang sangat membenarkan). Lalu pertanyaan selanjutnya, saat ini di manakah kita bisa jumpai orang-orang seperti ini?

4. Weteng iro ingkang luwe (perut yang berlapar-lapar/perbanyaklah berpuasa)
Berpuasa tentu bukan sekedar berlapar-lapar. Puasa yang berkesan kepada akhlak, tentu tidak hanya lahiriahnya saja yang berpuasa. Tetapi juga penglihatan, pendengaran, perilakunya ikut terkawal. Disertai ruh ibadah berupa rasa ber-Tuhan dan rasa kehambaan yang tajam. Ibadah tanpa ruh akan menjadi ibadah ‘bangkai’. Bangkai, kita pun tidak mau menyentuhnya. Ibadah ‘bangkai’, akankah Tuhan menerimanya? Karena itulah Rasulullah mengingatkan bahwa betapa banyak orang yang berpuasa tapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga.

5. Dzikir wengi ingkang suwe (dzikir malam perpanjanglah)
Dzikir sulit istiqamah kalau tidak dalam disiplin tertentu. Dzikir yang didisiplinkan ini disebut wirid. Wirid ini bermanfaat dalam tumbuhnya kekuatan ruhani. Oleh karena itu, dalam sebuah perjuangan biasanya ada wirid-wirid yang diamalkan. Rangkaian wirid sebaiknya terhubung Rasulullah. Artinya, wirid tersebut disusun oleh Rasulullah dan diberakan kepada seseorang untuk kemudian diberikan kepada orang lain lagi dengan silsilah yang jelas. Wirid yang terhubung dengan Rasulullah inilah yang menjadi asas sebuah tarekat. Ahli tarekat pula yang lazim mengamalkan dzikir wingi ingkang suwe.

Tapi di tengah zaman yang super sibuk ini tidak sempat lagi jika kita berwirid seperti misalnya wirid jaman Iman Ghazali. Tuntutan jaman ini sudah berbeda dengan jaman-jaman sebelumnya. Kita dituntut berjuang di tengah-tengah masyarakat global untuk memperbaiki semua aspek dalam masyarakat. Oleh karena itu, sebagaimana lazimnya muncul sebuah wirid dan tarekat di suatu jaman sebagai motor ruhani bagi perjuangan di jaman tersebut, maka sudah seharusnya ada satu rangkaian wirid yang sesuai dengan tuntutan dunia hi-tech yang super sibuk ini. Sebagai sebuah dzikir yang akan mengobati hati dan menjadi kekuatan ruhani bagi perjuangan Islam di akhir jaman.

Jika kita pahami, ternyata mengobati penyakit hati masyarakat akhir zaman adalah sesuatu hal yang sangat sulit karena setiap permasalahan berkaitan satu sama lain. Sebagai contoh, baik buruknya akhlak seseorang ditentukan oleh hatinya. Hati adalah raja dalam diri. Sedangkan hati ini ditempa oleh makanan. Makanan yang haram akan mengotori hati. Hati yang kotor sulit menerima kebenaran.
Artinya, jika kita ingin memperbaiki akhlak kita tentulah kita harus menjaga apa yang kita makan. Begitu juga jika kita ingin memperbaiki masyarakat. Di jaman ini adakah jaminan bahwa makanan yang kita makan kita bebas dari unsur-unsur yang haram? Baik secara zatnya maupun secara maknawi. Misalnya, adakah yang bisa memastikan bahwa uang yang kita pergunakan untuk memperolehnya bebas dari unsur riba? Tentu sulit untuk memastikannya.

Bahkan tanpa kita sadari uang kertas yang kita miliki pun adalah sebuah simbol riba yang sitematis. Karena nilai nominalnya yang berbeda dengan nilai intrinsik (nilai bahan) maka daya tukarnya sangat bergantung kepada pihak yang menerbitkannya. Dalam hal ini adalah pemerintah. Jika terjadi inflasi maupun deflasi maka terjadi perubahan daya tukar uang terhadap barang. Ada selisih antara usaha yang dilakukan untuk memperoleh suatu nilai nominal uang sebelum inflasi/deflasi dengan hasil tukar uang tersebut setelahnya. Riba? Wajarlah jika masyarakat kita sulit keluar dari kerusakan akhak dan moral.

Oleh karena itu, untuk bisa mengobati hati masyarakat perlu adanya sebuah solusi yang menyeluruh di semua bidang kehidupan. Dari sistem ekonomi, pendidikan, kebudayaan, politik, dst. Yang mampu menghadirkan satu sistem yang benar di antara sistem yang telah rusak dan menjadi sumber permasalahan. Mungkin hanya orang-orang khusus yang dipilih Allah saja yang mampu menghadirkan formulasi yang tepat untuk penyelesaikan seluruh permasalahan di jaman ini. Jika tidak maka maka “Tombo Ati” memang hanya tinggal syair legendaris berusia setengah millenium.

Dimanakah Makam Sayyidah Fathimah?

Hanya sekelebat pemikiran….

Dimanakah Makam Sayyidah Fathimah?

Melihat karakteristik beliau yang sangat mencintai ayahnya, mungkin Imam Ali tidak akan memisahkan mereka terlalu jauh. Tersembunyi, tapi sangat dekat… Tidak mungkin pula Imam Ali mencari tempat yang biasa saja. Pasti ada benang merahnya dengan Rasulullah SAW.

Kalau Abu Bakar dan Umar bin Khattab saja (katanya) dimakamkan di sisi Rasulullah, siapa lagi yang lebih berhak ditempatkan lebih dekat bila bukan putrinya yang mulia Sayyidah Fathimah?

Teka teki :) mungkin nanti bila aku berjumpa, akan aku tanyakan… :)

Adab dan Etika Hubungan suami-isteri

Semuanya serba diatur, bahkan untuk hubungan suami dan isteri sebagaimana diambil dari sumber di sinih.

=================================================
Dalam hadis yang bersumber dari Abu Said Al-Khudri, Rasulullah saw pernah berwasiat kepada menantunya Ali bin Abi Thalib (sa):

“Wahai Ali, jika isterimu memasuki rumahmu, hendaknya melepaskan sandalnya ketika ia duduk, membasuh kedua kakinya, menyiramkan air dimulai dari pintu rumahmu sampai ke sekeliling rumahmu. Karena, dengan hal ini Allah mengeluarkan dari rumahmu 70.000 macam kefakiran dan memasukkan ke dalamnya 70.000 macam kekayaan, 70.000 macam keberkahan, menurunkan kepadamu 70.000 macam rahmat yang meliputi isterimu, sehingga rumahmu diliputi oleh keberkahan dan isterimu diselamatkan dari berbagai macam penyakit selama ia berada di rumahmu.

Cegahlah isterimu (selama seminggu dari awal perkawinan) minum susu dan cuka, makan Kuzbarah (sejenis rempah-rempah, ketumbar) dan apel yang asam.

Ali bertanya: Ya Rasulallah, mengapa ia dilarang dari empat hal tersebut?
Rasulullah saw menjawab: Empat hal tersebut dapat menyebabkan isterimu mandul dan tidak membuahkan keturunan. Sementara tikar di rumahmu lebih baik dari perempuan yang mandul.

Kemudian Ali (sa) bertanya: Ya Rasulallah, mengapa ia tidak boleh minum cuka?
Rasulullah saw menjawab: Cuka dapat menyebabkan tidak sempurna kesucian dari haidnya; Kuzbarah menyebabkan darah haid berakibat negatif terhadap kandungannya dan mempersulit kelahiran; sedangkan apel yang asam dapat menyebabkan darah haid terputus sehingga menimbulkan penyakit baginya.

Kemudian Rasulullah saw bersabda:

Pertama: Wahai Ali, janganlah kamu menggauli isterimu pada awal bulan, tengah bulan, dan akhir bulan, karena hal itu mempercepat datangnya penyakit gila, kusta, dan kerusakan syaraf padanya dan keturunannya.

Kedua: Wahai Ali, janganlah kamu menggauli isterimu sesudah Zhuhur, karena hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan jiwa anak mudah goncang, dan setan sangat menyukai manusia yang jiwanya goncang.

Ketiga: Wahai Ali, janganlah kamu menggauli isterimu sambil berbicara, karena hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan kebisuan. Dan janganlah seorang suami melihat kemaluan isterinya, hendaknya memejamkan mata ketika berhubungan, karena melihat kemaluan dapat menyebabkan kebutaan pada anak.

Keempat: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu dengan dorongan syahwat pada wanita lain (membayangkan perempuan lain), karena (bila dikaruniai anak) dikhawatirkan memiliki sikap seperti wanita itu dan memiliki gangguan kejiwaan.

Kelima: Wahai Ali, barangsiapa yang bercumbu dengan isterinya di tempat tidur janganlah sambil membaca Al-Qur’an, karena aku khawatir turun api dari langit lalu membakar keduanya.

Keenam: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu dalam keadaan telanjang bulat, juga isterimu, karena khawatir tidak tercipta keseimbangan syahwat, yang akhirnya menimbulkan percekcokan di antara kalian berdua, kemudian menyebabkan perceraian.

Ketujuh: Wahai Ali, janganlah menggauli isterimu dalam keadaan berdiri, karena hal itu merupakan bagian dari prilaku anak keledai, dan (bila dianugrahi anak) ia suka ngencing di tempat tidur seperti anak keledai ngencing di sembarangan tempat.

Kedelapan: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu pada malam ‘Idul Fitri, karena hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan anak memiliki banyak keburukan.

Kesembilan: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu pada malam ‘Idul Adhha, karena (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan jari-jarinya tidak sempurna, enam atau empat jari-jari.

Kesepuluh: wahai Ali, jangan menggauli isterimu di bawah pohon yang berbuah, karena hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan ia menjadi orang yang penyambuk atau pembunuh atau tukang sihir.

Kesebelas: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu di bawah langsung sinar matahari kecuali tertutup oleh tirai, karena hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan kesengsaraan dan kefakiran sampai ia meninggal.

Kedua belas: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu di antara adzan dan iqamah, karena hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan ia suka melakukan pertumpahan darah.

Ketiga belas: Wahai Ali, jika isterimu hamil, janganlah menggaulinya kecuali kamu dalam keadaan berwudhu’, karena hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan ia buta hatinya dan bakhil tangannya.

Keempat belas: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu pada malam Nisfu Sya’ban, karena hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan tidak bagus biologisnya, bertompel pada kulit dan wajahnya.

Kelima belas: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu pada akhir bulan bila sisa darinya dua hari (hari mahaq), karena hal itu (bila anugrahi anak) dapat menyebabkan ia suka bekerjasama dan menolong orang yang zalim, dan menjadi perusak persatuan kaum muslimin.

Keenam belas: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu di atas dak bangunan ( yang tidak beratap), karena hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan ia menjadi orang munafik, riya’, dan ahli bi’ah.

Ketujuh belas: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu ketika hendak melakukan perjalanan (bermusafir), jangan menggaulinya pada malam itu, karena hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan ia suka membelanjakan harta di jalan yang tidak benar (pemboros). Kemudian Rasulullah saw membacakan firman Allah swt:

إِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْا إِخْوَانَ الشَّيَاطِيْنَ

Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan.” (Al-Isra’: 27).

Kedelapan belas: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu jika kamu hendak bermusafir 3 hari 3 malam, karena hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan ia menjadi penolong orang yang zalim.

Kesembilan belas: Wahai Ali, gauilah isterimu pada malam senin, karena hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan ia menjadi pemelihara Al-Qur’an, ridha terhadap pemberian Allah swt.

Kedua puluh: Wahai Ali, jika kamu menggauli isterimu pada malam Selasa, hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan ia dianugrahi syahadah setelah bersaksi “Sesungguhnya tiada tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah”, tidak disiksa oleh Allah bersama orang-orang yang musyrik, bau mulutnya harum, hatinya penyayang, tangannya dermawan, dan lisannya suci dari ghibah dan dusta.

Kedua puluh satu: Wahai Ali, jika kamu menggauli isterimu pada malam Kamis, hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan ia menjadi ahli hukum dan orang yang ‘alim.

Kedua puluh dua: Wahai Ali, jika kamu menggauli isterimu pada hari Kamis setelah matahari tergelincir, hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan ia tidak didekati setan sampai berubah rambutnya, menjadi orang yang mudah paham, dan dianugrahi oleh Allah Azza wa Jalla keselamatan dalam agama dan di dunia.

Kedua puluh tiga: Wahai Ali, jika kamu menggauli isterimu pada malam Jum’at, hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan ia menjadi orang yang orator. Jika kamu menggauli isterimu pada hari Jum’at setelah Ashar, (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan ia menjadi orang yang terkenal, termasyhur dan ‘alim. Jika kamu menggauli isterimu pada malam Jum’at sesudah ‘Isya’, maka diharapkan kamu memiliki anak yang menjadi penerus, insya Allah.

Kedua puluh empat: Wahai Ali, jangan gauli isterimu pada awal waktu malam, karena hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan ia menjadi orang yang tidak beriman, menjadi tukang sihir yang akibatnya buruk di dunia hingga di akhirat.

Kedua puluh lima: Wahai Ali, pegang teguhlah wasiatku ini sebagaimana aku memeliharanya dari Jibril (as). (Kitab Makarimul Akhlaq: 210-212)
==================================================

Allahumma shalli alaa Muhammad, wa aali Muhammad.. 3x

Sujudnya kok disitu?



Ini jawaban buat temen2 yang bertanya2 mengenai sujud. Knapa sujudnya pake Turbah? Kenapa ga di sajadah seperti yang biasa ditemui? Apa dasar hukumnya? Emangnya boleh ya? Bukannya itu musyrik?

Nah, kebetulan ada sumbernya niy, DISINI

Siap? Atau udah pada deg2an  takut bacaannya ga bener? Kalo orang bilang, paling susah ngasih tau orang yang sok tau. Jadi mari kita gunakan akal sebaik2nya, dan shallawat pada Nabi Besar Muhammad SAW dan segenap keluarganya. Tarik napas…yuk mulai..

===============================================
Sujud secara bahasa berarti al-khudû’, yakni tunduk atau merendahkan diri. Sedangkan sujud dalam shalat bermakna meletakkan dahi di atas tanah. Inilah wujud peribadatan dan “penghinaan” seorang makhluk di hadapan Khalik. Sampai-sampai disebutkan dalam riwayat, “Keadaan paling dekat antara seorang hamba kepada Allah adalah ketika sujud.”

Karenanya menurut saya, shalat sejatinya bukanlah bacaan surah pendek yang lama (apalagi dilama-lamakan), tapi justru sujud yang lama. Kepala atau dahi dilambangkan sebagai bagian yang dimuliakan. Padahal hakikatnya manusia hanya diciptakan dari tanah (turâb, ardh) bahkan tanah hitam. Kesombongan manusia itu dihancurkan dengan menaruh lambang kemuliaan (dahi) ke tempat aslinya (tanah) di hadapan Sang Pencipta.

Sujud dalam Fikih dan Sejarah

Dalam fikih Syiah Ahlul Bait, sujud di atas tanah merupakan perintah Rasulullah dan para imam Ahlul Bait as. Dalam Fiqh Al-Imâm Ja’far diriwayatkan bahwa seseorang bertanya kepada Imam Jakfar tentang tempat yang boleh dijadikan tempat sujud. Lalu dijawab, “Tidak boleh sujud kecuali di atas ardh (tanah, bumi) atau yang tumbuh di bumi, kecuali yang dimakan atau dipakai.”

Orang itu bertanya apa sebabnya, kemudian Imam menjawab, “Sujud merupakan ketundukan kepada Allah, maka tidaklah layak dilakukan di atas apa yang boleh dimakan dan dipakai, karena anak-anak dunia adalah hamba dari apa yang mereka makan dan mereka pakai, sedangkan sujud adalah dalam rangka beribadah kepada Allah…” Hal ini sesuai dengan perintah Nabi Muhammad dalam Shahîh Al-Bukhârî:

جعلت لي الأرض مسجداً وطهوراً

“Dijadikannya tanah bagiku sebagai tempat sujud dan suci.” Artinya tanah bukan saja mensucikan untuk bertayamum tapi juga sebagai tempat sujud. Dalam segala kondisi Nabi selalu sujud di atas tanah. Pernah ketika terjadi hujan di bulan Ramadan, masjid Nabi yang beratapkan pelepah kurma menjadi becek. Abu Said Al-Khudri dalam riwayat Bukhari berkata, “Aku melihat Rasulullah dikening dan hidungnya terdapat bekas lumpur.”

Dalam kondisi panas, beberapa sahabat seperti Jabir bin Abdullah Al-Anshari biasanya akan menggenggam dan membolak-balikkan kerikil agar dingin sebelum digunakan untuk sujud. Sedangkan beberapa sahabat yang lain mengadu kepada Nabi, tapi tidak ditanggapi.

عن خباب بن الأرت قال شكونا إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم شده الرمضاء في جباهنا وأكفنا فلم يشكنا

Khabab bin Al-Arat berkata, “Kami mengadu kepada Rasulullah saw. tentang sangat panasnya dahi kami (saat sujud), tapi beliau tidak menanggapi pengaduan kami.” (HR. Al-Baihaqi) Tapi ada juga sahabat yang mencari-cari kesempatan untuk sujud di atas kain, tapi ketahuan Rasul, sebagaimana juga diriwayatkan dalam Sunan Al-Baihaqî:

عن عياض بن عبد الله القرشي قال رأى رسول الله صلى الله عليه وسلم رجلا يسجد على كور عمامته فأوما بيده ارفع عمامتك وأومأ إلى جبهته

Iyad bin Abdullah Al-Quraisyi berkata, “Rasulullah saw melihat seseorang sujud di atas lilitan serbannya. Maka beliau memberi isyarat dengan tangannya untuk mengangkat serbannya sambil menunjuk pada dahinya.” Mungkin karena riwayat di atas dan banyak riwayat lainnya sehingga Imam Syafii pun mengatakan bahwa seseorang harus sujud di atas tanah:

وَلَوْ سَجَدَ على رَأْسِهِ ولم يُمِسَّ شيئا من جَبْهَتِهِ الْأَرْضَ لم يَجْزِهِ السُّجُودُ وَإِنْ سَجَدَ على رَأْسِهِ فَمَاسَّ شيئا من جَبْهَتِهِ الْأَرْضَ أَجْزَأَهُ السُّجُودُ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى

“Apabila seseorang sujud dan dahinya sama sekali tidak menyentuh tanah, maka sujudnya dianggap tidak sah. Tetapi jika seseorang sujud dan bagian dahinya menyentuh tanah (al-ardh), maka sujudnya dianggap cukup dan sah, Insya Allah Taala.” (Al-Umm, 1/114)

Artinya, menurut mazhab Imam Syafii seseorang ketika sujud dahinya harus menyentuh tanah. Tapi apakah orang Syiah protes ketika teman-teman bermazhab Syafii sujud di atas sajadah yang terbuat dari kain bahkan bahan sintetis? Lalu kenapa ada yang protes (bahkan menyebutnya musyrik) ketika orang Syiah sujud di atas tanah padahal itu sesuai dengan fikih mereka yang diajarkan Ahlul Bait?!
Meski demikian Rasulullah saw. memberikan keringanan untuk sujud di atas setiap benda yang tumbuh di atas tanah, jika memang cuaca sangat panas atau sangat dingin. Terkadang Rasul menggunakan khumrah (semacam tikar kecil) dan terkadang karena uzur/darurat beliau mengizinkan sahabat untuk menarik serbannya. Artinya selama bisa sujud di atas tanah, maka Rasul melarang (seperti dalam riwayat Al-Baihaqi).

Turbah Al-Husain
Sebuah blog menyebut Syiah sebagai penyembah berhala. Hal itu karena mereka tidak memahami dengan benar makna “muslim”. Ketika seseorang bersyahadat dan menjadi Muslim, maka yang disembah adalah Allah. Sedangkan syirik adalah menyembah selain Allah. Bagaimana mungkin menjadi musyrik dan menyembah berhala padahal dalam shalatnya ia bertakbir, tahmid, tahlil, salawat dan seterusnya? Tentu kalian tidak ingin disebut sebagai penyembah berhala karena sujud di atas kain sajadah, ‘kan?

Turbah hanyalah sebuah lempengan tanah tempat orang-orang Syiah “sujud di atasnya” (masjûd ‘alaih) bukan “sujud kepadanya” (masjûd lahu). Lalu mengapa tanah Karbala atau turbatul Husain yang dipilih?

Pertama, yang diwajibkan adalah sujud di atas tanah atau yang tumbuh dari bumi kecuali yang dapat dimakan atau dipakai. Jadi menurut saya, tidak ada kewajiban untuk sujud di atas tanah Karbala.

Kedua, menjadikan tanah Karbala sebagai turbah tidak berarti tanah Madinah dekat pusara Nabi saw. tidak memiliki keutamaan. Karena masing-masing memiliki keutamaannya sendiri.

Hanya saja tanah Karbala adalah tempat terbunuhnya cucu Nabi dan keluarganya untuk membela Islam sejati yang hampir musnah. Tanah tersebut telah dibanjiri darah suci para syuhada yang berjuang di jalan Allah. Kaum Syiah akan terus mengingat perjuangan Imam Husain as. Bukankah segala sesuatu yang berkaitan dengan Allah akan memiliki keutamaan? “Kemuliaan suatu tempat terletak pada siapa yang menempatinya,” kata pepatah. Afwan Imam ash-Shadiq as berkata, “Sujud di atas tanah adalah suatu kewajiban.” (Wasail Syiah juz 3 hal.)

فقد قال الأمام جعفر الصادق عليه السلام لا تسجد إلا على الأرض أو ما أنبتت الأرض

Berkata Imam Ja’far ash-Shadiq as, “Janganlab kamu sujud kecuali di atas tanah atau apaapa yang… tumbuh dari tanah.” (Biharul Anwar juz 85 hal. 149, al-Kafi juz 3 hal. 330).
Seseorang bertanya tentang sujud di atas sorban sedangkan dahinya tidak menyentuh tanah.

فقال الإمام جعفر الصادق عليه السلام لايجزيه ذلك حتى تصل جبهته الأرض

Berkata Imam ash-Shadiq as, “Tidak boleh sehingga sampai mengena dahinya ke tanah.” (Wasail Syiah juz 3 hal. 609).

سأل هشام بن الحكم الإمام الصادق عليه السلام فقال: أخبرني يا بن رسول :الله عما يجوز السجود عليه السلام يجوز السجود على الأرض أوما أنبتت، إلا ما أآِل أو لُبش

“Hisyam bin hakam bertanya kepada Imam ash-Shadiq as, “Beritahu aku wahai putra Rasulullah tentang apa-apa yang boleh sujud di atasnya dan apa-apa yang tidak boleh?” Beliau menjawab,
‘Boleh sujud di atas tanah atau apa-apa yang tumbuh dari tanah, kecuali yang dapat dimakan
atau yang dapat dipakai.” (Wasail Syiah juz 3 hal. 591).

عن أنس بن مالك قال: آنا نصلي مع رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم في شدة الحر فيأخذ أحدنا الحصباء في يده، فإذا بردت وضعها و سجد عليها

Dari Anas bin Malik berkata, “Kami salat bersamaRasulullah saw di musim yang sangat panas, salah satu dari kami mengambil kerikil lalu diletakkan di tangannya, apabila kerikil tadi sudah dingin lalu kerikil tersebut diletakkan dan di pakai untuk sujud di atasnya.”(Sunan Baihaqi juz 2 halo 105, Nailul authar juz 2 hal. 268) ..

عن ابن عباس: إن النبي صلى الله عليه
وآله وسلم آان يصلي على الخُمرة

Dari Abdullah bin Abbas, “Sesungguhnya Nabi saw salat di atas Khumroh (tikar yangterbuat dari
daun pohon kurma sebesar wajah).” (Musnad… Lihat Selengkapnya Ahmad bin Hambal juz 1 hal. 269/ 309/29/358; Sahih Tirmizi juz 2 hal. 151).

عن ابن عمر: آان رسول الله صلى الله عليه وآله و سلم يصلي على الخُمرة

Dari Abdullah bin Umar, “Bahwasannya Rasulullah saw salat di atas Khumroh ( tikar yang terbuat dari daun pohon kurma sebesar wajah).” (Musnad Ahmad bin Hambal juz 2 haI. 92; Sunan Tirmizdi juz 2 hal. 151) .

عن وائل قال: رأيت النبي صلى الله عليه واله وسلم إذا سجد و ضع جبهتة وأنفه على الارض

Dari Wail berkata, “Aku melihat Nabi saw apabila beliau sujud, beliau meletakkan dahi dan hidungnya di atas tanah.” (Ahkamul Qur ‘an lil Jash Shoh, juz 3 hal. 36 Musnad Ahmad Bin Hanbal, juz 4 hal. 315).
Rasulullah saw melarang para sahabatnya jika bersujud selain di atas tanah.
================================================

Gimana? Kalaupun masih blm paham, terimakasih untuk tidak menilai kami yang sujud di atas tanah sebagai perilaku yang sesat :)

Kenapa sih nggak Taraweh?


Banyak yang memandang aneh kalo saya nggak ikutan Taraweh di bulan Ramadhan. Dulu saya menjelaskan tapi masih terbata-bata. Sekarang saya menemukan sumbernya.. disini Ringkasnya knapa saya nggak Taraweh:

1. Shalat sunnah SELALU dilakukan sendiri2 dan TIDAK PERNAH berjamaah
2. Kebiasaan shalat Taraweh merupakan Sunnah Umar bin Khatab dan BUKAN SUNNAH RASULULLAH SAW 

selengkapnya, silahkan disimak yang berikut ini…

===========================

Kalau kita saksikan dikebanyakan masjid-masjid saudara kita, Ahlussunnah, kita sering menjumpai pada malam-malam bulan Ramadhan terdapat ritual shalat berjamaah yang jumlah raka’atnya sebanyak 8 rakaat, 20 raka’at atau 36 rakaat. Konon Rasulullah Saw hanya mengerjakan 8 rakaat secara berjamaah kemudian melanjutkannya di rumah. Hal ini juga diikuti oleh para sahabat.

Namun, bagaimana sebenarnya hukum shalat Tarawih ini? Berikut ini mari kita menyimak tulisan berikut ini dengan tajuk “Bid’ah yang Indah itu..

 Dari kitab Sahih Bukhari[1] dan Sahih Muslim[2] kita dapat mengambil pelajaran bahwa pada zaman Nabi Muhammad Saw dan pada zaman kekhalifahan Abu Bakar serta pada beberapa waktu pemerintahan Umar, tidak terdapat ritual shalat Tarawih. Hingga pada suatu waktu dari salah satu malam-malam bulan Ramadhan, Umar masuk ke Masjid dan menyaksikan masyarakat melakukan shalat secara sendiri-sendiri (munfarid). Ia juga melihat di salah satu sudut masjid itu, ada sekelompok kaum muslim melaksanakan shalat secara berjamaah.

Kemudian Umar berkata, “Kalau semua orang melaksanakan shalat secara berjamaah pasti akan menarik. Lalu ia mengumpulkan mereka untuk melaksanakan shalat di bawah pimpinan seorang imam (Ubay bin Ka’ab). Pada malam berikutnya ia masuk masjid itu dan menyaksikan jamaah masjid melaksanakan shalat secara berjamaah, seraya mengucapkan “Ni’mal bid’atu hadzihi[3]. (Alangkah indahnya bid’ah ini). Jadi pendapat yang mengatakan bahwa bilangan rakaat salat Tarawih itu sebanyak 20 rakaat merupakan pendapat Khalifah Umar bin Khatab.

Al-’Allamah al-Qasthalani, ketika sampai pada ucapan Umar dalam hadits tersebut (yakni alangkah baiknya bid’ah ini) berkata: “Ia (Umar) menamakannya bid’ah, sebab Rasulullah Saw sendiri tidak menjadikannya sebagai sunnah kepada mereka untuk dilakukan secara berjamaah.  Hal itu juga belum pernah terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, baik tentang waktu pelaksanaannya, atau tentang pelaksanaannya pada tiap malam Ramadhan, ataupun tentang jumlah rakaatnya.[4]

Dalam kitab Fiqh ‘alal Madzahib al Arba’ah[5] ihwal shalat Tarawih, “Adalah mustahab apabila shalat Tarawih ini dilaksanakan secara berjamaah, namun jumlah rakaatnya bukan 20 rakaat dan baru beberapa lama setelah itu ditambahkan. Dari kitab ini juga Anda bisa mengetahui seluk beluk salat Tarawih ini. Penyusun kitab ini, Abdul Rahman al-Jazairi menjelaskan bahwa: “Syaikhan, (Imam Bukhari dan Muslim) meriwayatkan sebuah hadits bahwa Rasulullah Saw keluar dari rumahnya pada tengah malam di bulan suci Ramadhan, yaitu pada malam ketiga, kelima dan kedua puluh tujuh, secara terpisah. Kemudian beliau Saw shalat di dalam masjid. Jamaah masjid pun turut pula melakukan shalat di dalam masjid beliau. Ketika itu beliau Saw melakukan shalat sebanyak 8 rakaat. Tetapi kemudian mereka menyempurnakan shalat mereka di rumah mereka masing-masing…” Kemudian Abdul al-Jaziri menyimpulkan pandangannya sendiri dari riwayat tersebut dan berkata: “Dari riwayat ini jelaslah bahwa Nabi Saw telah menetapkan kesunahan shalat Tarawih secara berjamaah. Tetapi beliau Saw tidak melakukannya -bersama-sama dengan mereka- sebanyak 20 rakaat, sebagaimana yang dilakukan pada masa sahabat (pasca wafat Rasulullah Saw) dan pada masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Setelah keluar pada tiga malam itu, beliau Saw tidak keluar lagi karena takut nantinya shalat itu akan diwajibkan atas mereka sebagaimana yang juga pada  riwayat lainnya. Dan telah jelas pula bahwa jumlah rakaatnya tidak terbatas hanya 8 rakaat saja sebagaimana yang beliau lakukan bersama mereka. Dalilnya adalah bahwa mereka menyempurnakannya di dalam rumah-rumah mereka. Sementara perbuatan umar menjelaskan bahwa jumlah rakaatnya adalah 20. Dimana ketika itu (ketika Umar berkuasa sebagai Khalifah) dia menganjurkan kaum muslimin agar melakukan shalat Tarawih di dalam masjid sebanyak 20 rakaat, dan hal itu disetujui oleh para sahabat Nabi Saw.

Pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz penambahan rakaat shalat Tarawih terjadi lagi sampai 36 rakaat. Tujuan penambahan tersebut ini untuk menyesuaikan keutamaan dan kemuliaan penduduk kota Makkah. Karena mereka melakukan thawaf (mengelilingi Ka’bah) satu kali setelah setiap 4 rakaat. Berdasarkan hal itu, Umar bin Abdul Aziz menganggap perlu untuk menambahkan dalam setiap thawaf sebanyak 4 rakaat”.[6]

Dalam salah satu kitab fiqih Sunni “al-Mughni“, ulama Ahli Sunnah yang bernama al-Kharqi berata bahwa shalat Tarawih itu dilakukan sebanyak 20 rakaat. Ibnu Quddamah, seorang ulama Sunni terkenal lainnya berkata di dalam syarahnya bahwa menurut pandangan Imam Ahmad bin Hanbal, yang lebih kuat bahwa shalat Tarawih itu berjumlah 20 rakaat. Hal ini persis dengan pendapat as-Tsauri, Abu Hanifah dan Imam Syafi’i. Namun Imam Malik berpendapat bahwa shalat Tarawih itu berjumlah 36 rakaat. Dia mengatakan bahwa hal itu sesuai dengan perbuatan orang-orang Madinah.
Dalam pandangan madzhab Ahli Sunnah, keotentikan kitab al-Bukhari menempati urutan ke dua setelah Al-Qur’an dan sangat banyak yang memberikan komentar atas   kitab ini. Dalam kitab ini, para komentator itu memberikan pandangan beragam tentang jumlah rakaat yang ada pada salat Tarawih, sebagian mereka mengatakan bahwa jumlah rakaat shalat Tarawih itu adalah 13 rakaat, yang lainnya mengatakan 20 rakaat, kelompok yang lain berpendapat 24 rakaat, ada yang mengatakan 28 rakaat, sebagian lagi berujar 36 rakaat, ada juga yang mengatakan 38 rakaat, sebagiannya lagi mengatakan 39 rakaat, pendapat selanjutnya adalah 41 rakaat, pendapat lainnya adalah 47 rakaat, dan begitu seterusnya.

Ibnu Abdil Bar menulis: “Dialah Umar yang telah menyemarakkan bulan suci Ramadhan dengan shalat yang jumlah rakaatnya genap (yakitu shalat Tarawih)”[7]

Al-Allamah Abu Al-Walid Muhammad bin Syuhnah berkata: Dan dia pulalah orang pertama yang menyelenggarakan shalat Tarawih berjamaah dengan dipimpin oleh seorang imam….”[8]

As-Suyuthi menulis di dalam kitabnya Tarikhul Khulafa’ tentang hal-hal baru yang diciptakan oleh Umar, diantaranya ia berkata: “Dialah orang pertama yang mentradisikan shalat Tarawih pada malam-malam bulan Ramadhan”

Imam al-Bukhari -setelah meriwayatkan sebuah hadits Rasulullah Saw yang berbunyi: “Barangsiapa yang melakukan shalat (sunat) pada malam bulan Ramadhan……dst”- berkata: “….Sedemikian itulah keadaannya sampai Rasulullah Saw wafat, dan juga pada masa Khalifah Abu Bakar serta sebagian dari masa Khalifah Umar. (Yakni, yang pada masa-masa itu belum dikenal “shalat Tarawih”[9]

Muslim pun -di dalam kitab Shahih-nya- mengutip hadits yang sama dan kemudian memberikan komentar yang sama.[10]

Kiranya perlu diingat bahwa setelah pengarang kitab Fiqh ‘alal al Arba’ah menjelaskan permasalahan ini, ia kemudian memberikan pembenaran atas bid’ah yang dilakukan oleh Umar ini:[11]

Mengapa bid’ah ini diperbolehkan? Bukankah bid’ah yang sangat berpengaruh ini merupakan bentuk kesesatan? Apakah merupakan pengecualian yang berasal dari Nabi Saw?

Apakah dengan digantinya 11 rakaat sebagai shalat malam, 20 rakaat yang dilakukan tidak bertentangan dengan petunjuk yang diberikan oleh Nabi Saw?

Apakah menghatamkan seluruh Al Qur’an di antara jamaah masjid sebagai sebuah ibadah yang sunah dan bukan merupakan suatu bid’ah?

Apakah Umar berkata, “Lakukan 20 rakaat atau khatamkan Al Qur’an bagi mereka?

Apakah Umar memerintahkan supaya shalat Tarawih dilakukan di seluruh masjid?

Jawaban dari seluruh pertanyaan ini adalah iya. Shalat Tarawih yang digagas oleh ‘Umar ini merupakan suatu bid’ah. Oleh karena itu dalam fiqh Ahlul Bayt As terdapat pelarangan untuk melaksanakan shalat Tarawih karena tidak berasal dari sunnah Nabi Saw, melainkan merupakan sunnah Khalifah Kedua yang tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum.

Tentang solat malam pada bulan Ramadhan (qiyamulail fi Ramadhan) menurut pandangan  madzhab Ahlulbait As, memang berbeda dengan madzhab Sunni, baik dalam jumlah rakaatnya maupun dalam waktu dan doa-doa dan cara-cara lainnya. Aimah As dan ulama mereka tidak  berbeda pendapat mengenai jumlah rakaat dan cara melakukan shalat-shalat malam Ramadhan tersebut. Maksumin As dan para ulama AhlulbaitAs melakukan shalat atau qiyamulail pada bulan suci Ramadhan sebanyak seribu rakaat, selama sebulan penuh. Semenjak malam pertama bulan Ramadhan mereka melakukan solat sebanyak dua puluh rakaat. Hal ini mereka lakukan hingga malam ke dua puluh, di mana jumlah keseluruhan dari solat yang mereka lakukan adalah empat ratus rakaat. Selebihnya, yaitu dimulai semenjak malam ke-21 sampai malam terakhir, mereka melakukannya tiga puluh rakaat. Jadi selama sepuluh malam berjumlah tiga ratus rakaat.  Sedang pada tiga malam ganjil, yaitu malam ke 19, 21 dan 23, mereka menambahkannya menjadi seratus rakaat, yang jumlah keseluruhan pada tiga malam ini adalah tiga ratus rakaat. Menurut pandangan madzab Ahlulbait, tiga malam ganjil adalah malam-malam Lailatul Qadar dan mempunyai keutamaan dan kemuliaan ketimbang seribu bulan ibadah. Pada malam-malam lailatul Qadar amalan-amalan yang sangat dianjurkan di antaranya adalah mengadakan perenungan terhadap keadaan diri sendiri, mengadakan majelis-majelis keilmuan, selalu mengingat Allah Swt dengan zikir-zikir yang telah diajarkan oleh para Imam As, bertawassul kepada Ahlulbait As, berdoa dengan khusyu dan lainnya.

———————————-

[1] . Sahih Bukhari, Kitab Shalat Taraweh, Hal. 322. Jil, No. 2009-2012
[2] . Sahih Muslim, Bab Targhib fi Qiyam Ramadhan wa huwa Tarawih, Hal. 334, No. 756
[3] . Sahih Bukhari, Kitab Shalat Tarawih, Hal. 322, No. 2010
[4] . Irsyadu Sahih Bukhari, 5/4
[5] . Jil. 1, Pembahasan tentang Shalat Matbu’, Shalat Tarawih, Hal. 340
[6] . Al Mughni, Jil. 6. Hal. 137-138
[7] . Isti’ab, Ibnu Abdil Bar
[8] . Raudhatal Manadhir, Jil. 2, Hal. 122
[9] . Sahih Bukhari, Juz 1, Pasal Solat Taraweh
[10] . Sahih Muslim, Juz 1,  Anjuran Shalat Malam pada Bulan Ramadhan
[11] . Ibid

Shalah

These are the ground rules (taken from the most common books) for having Shalah immediately one after another. For example; Dzuhur then Ashr, or Maghrib then Isya

It is narrated on the authority of Ibn Abbas, that he said that the Messenger of Allah prayed Zuhr and Asr together, and also Maghrib and Isha, although he was neither in a state of fear nor on a journey - Saheeh Muslim, Vol. I, p.264 

Ibn Abbas narrates that the Messenger of Allah recited the Zuhr and Asr prayers together, and also said the Maghrib and Isha prayers,  although he was neither in a state of fear, nor was there any other cause, e.g. rain. It is related from Waki that he asked Ibn Abbas the reason (for the joint prayers). Ibn Abbas replied: So that the followers (of the Prophet) may not experience inconvenience and difficulty. - (1) Saheeh Muslim, Vol. I, p.265 and (2) Jami Tirmizee, p. 54 

Abdullah Bin Shaqeeq narrates that one day after the Asr prayer, Ibn Abbas began delivering a sermon which was so long that the sun set and the stars appeared. People began to shout: Salat! Salat! (as it was time for Maghrib prayer). Ibn Abbas paid no heed to them until someone from Bani Tameem stood up and shouted continously: Salat! Salat! Ibn Abbas responded: Woe unto you! You wish to teach me the Sunnat? He said: I have personally seen the Messenger of Allah pray the Zuhr and Asr prayers together, and likewise, the Maghrib and Isha prayers.


The narrator says: This statement of Ibn Abbas kept disturbing my conscience until I went and asked Abu Huraira about it, and he attested to what Ibn Abbas had said. - Saheeh Muslim, Vol. 1 p. 265

It is related from Ibn Abbas that the Prophet at one time recited seven rakats of prayers, and at another time eight rakats, i.e. he recited the Maghrib and Isha prayers together, and the Zuhr and Asr prayers together. - Saheeh Bukhari, Part I, p.72

It is narrated by Ibn Abbas that in Madina the Prophet used to recite two prayers together (Zuhr and Asr, and Maghrib and Isha), without there being any fear or rainfall. When asked about the reason for this, he said: The Prophet desired that his followers may not suffer inconvenience, and therefore the two prayers may be recited together.- Sunan Nasaee, p. 290

The Fadak Logic

The Ahlul Bayt are wealthy family. Their wealth could afford to provide 100 remuneration for a country’s prime minister. Waw!

What makes them noble is that although they’re THAT wealthy, they use their wealth for the importance of ummah. I mean, they could just invest to increase family’s wealth, but they choose not to. Of course, they’re the Ahlul Bayt. They never are tempted by what the dunnya has to offer. Consistently, persistently they follow Allah’s will. For example, fasting; they give away the meals they have prepared for fasting break to those ummah who has nothing to eat, whilst IF ONLY THEY ASKED, Allah will provide meals from heaven.

Now, if they’re that wealthy, if whatever they have they’ll put ummah’s importance as their main priority, then, the land of Fadak must be a very large land, don’t you think? If it’s small, or it won’t matters that much to ummah, Sayyida Fathimah wouldn’t feel that terrible to ever lose the land of Fadak.

She might just even gave it.

What do you say?….

Whispers

Sometimes, in a particular time of the month, I encounter a period of mood swings, a very horrible feeling that I have no idea how to control it. Last month, I knew there’s something wrong with me, and those whisperers that I decided to share it with my mate.

” I have plenty of things on my mind yet I couldn’t control it. I dunno where to start. “
Then my mate explained:

” it’s the syaiton who whispers in your heart that makes you feel like so. Syaiton will make you feel very lonely and alone. As times goes by, naudzubillahi min dzalik, you’ll start to believe in it. You will believe that you’re alone, whilst you’re never alone. NEVER BEEN, NEVER WILL. There’s always Allah with you. Stay alert, it’s only a mind game, an illusion to pull you away from Allah “

MasyaAllah…

“It’s alright to concerned about things. For instance, you went back home, and I’m concerned will you have a safe trip”

“Sometimes, it’s also alright to be worried. For instance, you’ve gone for more than three hours and I haven’t heard from you”

“But being anxious, is never been good.. For instance, I haven’t heard from you and then I assume you’re being kidnapped, or injured without supported by any facts.”

“This is what Qur’an 114:5 meant by  those who whispers (wickedness) into human’s heart
I have to share this, for us to be aware of the syaiton’s endless efforts to pull us away from Allah, and to follow their path instead.

Amazing Islamic Scholars & THEIR Discoveries.


Amazing Islamic Scholars & THEIR Discoveries.

found this entry here . Some of you may asked what was made by Islamic Scholars. This post shall proof that we’re being ripped off  intellectually speaking. Yes, those excellent Islamic Scholars are amazing. 

This is a bit long, but well worth the read. I knew muslim pioneers contributed largely to our modern day society, but it didn’t realise to what extent they did! Read on and enjoy.

—————————————————————————————————-
 What is Taught: The first mention of man in flight was by Roger Bacon, who drew a flying apparatus. Leonardo da Vinci also conceived of airborne transport and drew several prototypes.

What Should be Taught: Ibn Firnas of Islamic Spain invented, constructed and tested a flying machine in the 800’s A.D. Roger Bacon learned of flying machines from Arabic references to Ibn Firnas’ machine. The latter’s invention antedates Bacon by 500 years and Da Vinci by some 700 years.

—————————————————————————————————-
 What is Taught: Glass mirrors were first produced in 1291 in Venice.

What Should be Taught: Glass mirrors were in use in Islamic Spain as early as the 11th century. The Venetians learned of the art of fine glass production from Syrian artisans during the 9th and 10th centuries.

—————————————————————————————————-
What is Taught: Until the 14th century, the only type of clock available was the water clock. In 1335, a large mechanical clock was erected in Milan, Italy. This was possibly the first weight-driven clock.

What Should be Taught: A variety of mechanical clocks were produced by Spanish Muslim engineers, both large and small, and this knowledge was transmitted to Europe through Latin translations of Islamic books on mechanics. These clocks were weight-driven. Designs and illustrations of epi-cyclic and segmental gears were provided. One such clock included a mercury escapement. The latter type was directly copied by Europeans during the 15th century. In addition, during the 9th century, Ibn Firnas of Islamic Spain, according to Will Durant, invented a watch-like device which kept accurate time. The Muslims also constructed a variety of highly accurate astronomical clocks for use in their observatories.

—————————————————————————————————-
What is Taught: In the 17th century, the pendulum was developed by Galileo during his teenage years. He noticed a chandelier swaying as it was being blown by the wind. As a result, he went home and invented the pendulum.

What Should be Taught: The pendulum was discovered by Ibn Yunus al-Masri during the 10th century, who was the first to study and document its oscillatory motion. Its value for use in clocks was introduced by Muslim physicists during the 15th century.

—————————————————————————————————-
What is Taught: Movable type and the printing press was invented in the West by Johannes Gutenberg of Germany during the 15th century.

What Should be Taught: In 1454, Gutenberg developed the most sophisticated printing press of the Middle Ages. However, movable brass type was in use in Islamic Spain 100 years prior, and that is where the West’s first printing devices were made.

—————————————————————————————————-
What is Taught: Isaac Newton’s 17th century study of lenses, light and prisms forms the foundation of the modern science of optics .

What Should be Taught: In the 1lth century al-Haytham determined virtually everything that Newton advanced regarding optics centuries prior and is regarded by numerous authorities as the “founder of optics. ” There is little doubt that Newton was influenced by him. Al-Haytham was the most quoted physicist of the Middle Ages. His works were utilized and quoted by a greater number of European scholars during the 16th and 17th centuries than those of Newton and Galileo combined.

—————————————————————————————————-
What is Taught: Isaac Newton, during the 17th century, discovered that white light consists of various rays of coloured light.

What Should be Taught: This discovery was made in its entirety by al-Haytham (11th century) and Kamal ad-Din (14th century). Newton did make original discoveries, but this was not one of them.

—————————————————————————————————-
What is Taught: The concept of the finite nature of matter was first introduced by Antione Lavoisier during the 18th century. He discovered that, although matter may change its form or shape, its mass always remains the same. Thus, for instance, if water is heated to steam, if salt is dissolved in water or if a piece of wood is burned to ashes, the total mass remains unchanged.

What Should be Taught: The principles of this discovery were elaborated centuries before by Islamic Persia’s great scholar, al-Biruni (d. 1050). Lavoisier was a disciple of the Muslim chemists and physicists and referred to their books frequently.

—————————————————————————————————-
What is Taught: The Greeks were the developers of trigonometry .

What Should be Taught: Trigonometry remained largely a theoretical science among the Greeks. It was developed to a level of modern perfection by Muslim scholars, although the weight of the credit must be given to al-Battani. The words describing the basic functions of this science, sine, cosine and tangent, are all derived from Arabic terms. Thus, original contributions by the Greeks in trigonometry were minimal.

—————————————————————————————————-
What is Taught: The use of decimal fractions in mathematics was first developed by a Dutchman, Simon Stevin, in 1589. He helped advance the mathematical sciences by replacing the cumbersome fractions, for instance, 1/2, with decimal fractions, for example, 0.5.

What Should be Taught: Muslim mathematicians were the first to utilize decimals instead of fractions on a large scale. Al-Kashi’s book, Key to Arithmetic, was written at the beginning of the 15th century and was the stimulus for the systematic application of decimals to whole numbers and fractions thereof. It is highly probably that Stevin imported the idea to Europe from al-Kashi’s work.

—————————————————————————————————-
What is Taught: The first man to utilize algebraic symbols was the French mathematician, Francois Vieta. In 1591, he wrote an algebra book describing equations with letters such as the now familiar x and y’s. Asimov says that this discovery had an impact similar to the progression from Roman numerals to Arabic numbers.

What Should be Taught: Muslim mathematicians, the inventors of algebra, introduced the concept of using letters for unknown variables in equations as early as the 9th century A.D. Through this system, they solved a variety of complex equations, including quadratic and cubic equations. They used symbols to develop and perfect the binomial theorem.

—————————————————————————————————-
What is Taught: The difficult cubic equations (x to the third power) remained unsolved until the 16th century when Niccolo Tartaglia, an Italian mathematician, solved them.

What Should be Taught: Cubic equations as well as numerous equations of even higher degrees were solved with ease by Muslim mathematicians as early as the 10th century.

—————————————————————————————————-
What is Taught: The concept that numbers could be less than zero, that is negative numbers, was unknown until 1545 when Geronimo Cardano introduced the idea.

What Should he Taught: Muslim mathematicians introduced negative numbers for use in a variety of arithmetic functions at least 400 years prior to Cardano.

—————————————————————————————————-
What is Taught: In 1614, John Napier invented logarithms and logarithmic tables.

What Should be Taught: Muslim mathematicians invented logarithms and produced logarithmic tables several centuries prior. Such tables were common in the Islamic world as early as the 13th century.

—————————————————————————————————-
What is Taught: During the 17th century Rene Descartes made the discovery that algebra could be used to solve geometrical problems. By this, he greatly advanced the science of geometry.

What Should be Taught: Mathematicians of the Islamic Empire accomplished precisely this as early as the 9th century A.D. Thabit bin Qurrah was the first to do so, and he was followed by Abu’l Wafa, whose 10th century book utilized algebra to advance geometry into an exact and simplified science.

—————————————————————————————————-
What is Taught: Isaac Newton, during the 17th century, developed the binomial theorem, which is a crucial component for the study of algebra.

What Should be Taught: Hundreds of Muslim mathematicians utilized and perfected the binomial theorem. They initiated its use for the systematic solution of algebraic problems during the 10th century (or prior).

—————————————————————————————————-
What is Taught: No improvement had been made in the astronomy of the ancients during the Middle Ages regarding the motion of planets until the 13th century. Then Alphonso the Wise of Castile (Middle Spain) invented the Aphonsine Tables, which were more accurate than Ptolemy’s.

What Should be Taught: Muslim astronomers made numerous improvements upon Ptolemy’s findings as early as the 9th century. They were the first astronomers to dispute his archaic ideas. In their critic of the Greeks, they synthesized proof that the sun is the center of the solar system and that the orbits of the earth and other planets might be elliptical. They produced hundreds of highly accurate astronomical tables and star charts. Many of their calculations are so precise that they are regarded as contemporary. The AlphonsineTables are little more than copies of works on astronomy transmitted to Europe via Islamic Spain, i.e. the Toledo Tables.

—————————————————————————————————-
What is Taught: The English scholar Roger Bacon (d. 1292) first mentioned glass lenses for improving vision. At nearly the same time, eyeglasses could be found in use both in China and Europe.

What Should be Taught: Ibn Firnas of Islamic Spain invented eyeglasses during the 9th century, and they were manufactured and sold throughout Spain for over two centuries. Any mention of eyeglasses by Roger Bacon was simply a regurgitation of the work of al-Haytham (d. 1039), whose research Bacon frequently referred to.

—————————————————————————————————-
What is Taught: Gunpowder was developed in the Western world as a result of Roger Bacon’s work in 1242. The first usage of gunpowder in weapons was when the Chinese fired it from bamboo shoots in attempt to frighten Mongol conquerors. They produced it by adding sulfur and charcoal to saltpeter.

What Should be Taught: The Chinese developed saltpeter for use in fireworks and knew of no tactical military use for gunpowder, nor did they invent its formula. Research by Reinuad and Fave have clearly shown that gunpowder was formulated initially by Muslim chemists. Further, these historians claim that the Muslims developed the first fire-arms. Notably, Muslim armies used grenades and other weapons in their defence of Algericus against the Franks during the 14th century. Jean Mathes indicates that the Muslim rulers had stock-piles of grenades, rifles, crude cannons, incendiary devices, sulfur bombs and pistols decades before such devices were used in Europe. The first mention of a cannon was in an Arabic text around 1300 A.D. Roger Bacon learned of the formula for gunpowder from Latin translations of Arabic books. He brought forth nothing original in this regard.

—————————————————————————————————-
What is Taught: The compass was invented by the Chinese who may have been the first to use it for navigational purposes sometime between 1000 and 1100 A.D. The earliest reference to its use in navigation was by the Englishman, Alexander Neckam (1157-1217).

What Should be Taught: Muslim geographers and navigators learned of the magnetic needle, possibly from the Chinese, and were the first to use magnetic needles in navigation. They invented the compass and passed the knowledge of its use in navigation to the West. European navigators relied on Muslim pilots and their instruments when exploring unknown territories. Gustav Le Bon claims that the magnetic needle and compass were entirely invented by the Muslims and that the Chinese had little to do with it. Neckam, as well as the Chinese, probably learned of it from Muslim traders. It is noteworthy that the Chinese improved their navigational expertise after they began interacting with the Muslims during the 8th century.

—————————————————————————————————-
What is Taught: The first man to classify the races was the German Johann F. Blumenbach, who divided mankind into white, yellow, brown, black and red peoples.

What Should be Taught: Muslim scholars of the 9th through 14th centuries invented the science of ethnography. A number of Muslim geographers classified the races, writing detailed explanations of their unique cultural habits and physical appearances. They wrote thousands of pages on this subject. Blumenbach’s works were insignificant in comparison.

—————————————————————————————————-
What is Taught: The science of geography was revived during the 15th, 16th and 17th centuries when the ancient works of Ptolemy were discovered. The Crusades and the Portuguese/Spanish expeditions also contributed to this reawakening. The first scientifically- based treatise on geography were produced during this period by Europe’s scholars.

What Should be Taught: Muslim geographers produced untold volumes of books on the geography of Africa, Asia, India, China and the Indies during the 8th through 15th centuries. These writings included the world’s first geographical encyclopedias, almanacs and road maps. Ibn Battutah’s 14 th century masterpieces provide a detailed view of the geography of the ancient world. The Muslim geographers of the 10th through 15th centuries far exceeded the output by Europeans regarding the geography of these regions well into the 18th century. The Crusades led to the destruction of educational institutions, their scholars and books. They brought nothing substantive regarding geography to the Western world.

—————————————————————————————————-
What is Taught: Robert Boyle, in the 17th century, originated the science of chemistry.

What Should be Taught: A variety of Muslim chemists, including ar-Razi, al-Jabr, al-Biruni and al-Kindi, performed scientific experiments in chemistry some 700 years prior to Boyle. Durant writes that the Muslims introduced the experimental method to this science. Humboldt regards the Muslims as the founders of chemistry.

—————————————————————————————————-
What is Taught: Leonardo da Vinci (16th century) fathered the science of geology when he noted that fossils found on mountains indicated a watery origin of the earth.

What Should be Taught: Al-Biruni (1lth century) made precisely this observation and added much to it, including a huge book on geology, hundreds of years before Da Vinci was born. Ibn Sina noted this as well (see pages 100-101). it is probable that Da Vinci first learned of this concept from Latin translations of Islamic books. He added nothing original to their findings.

—————————————————————————————————-
What is Taught: The first mention of the geological formation of valleys was in 1756, when Nicolas Desmarest proposed that they were formed over a long periods of time by streams.

What Should be Taught: Ibn Sina and al-Biruni made precisely this discovery during the 11th century (see pages 102 and 103), fully 700 years prior to Desmarest.

—————————————————————————————————-
What is Taught: Galileo (17th century) was the world’s first great experimenter.

What Should be Taught: Al-Biruni (d. 1050) was the world’s first great experimenter. He wrote over 200 books, many of which discuss his precise experiments. His literary output in the sciences amounts to some 13,000 pages, far exceeding that written by Galileo or, for that matter, Galileo and Newton combined.

—————————————————————————————————-
What is Taught: The Italian Giovanni Morgagni is regarded as the father of pathology because he was the first to correctly describe the nature of disease.

What Should be Taught: Islam’s surgeons were the first pathologists. They fully realized the nature of disease and described a variety of diseases to modern detail. Ibn Zuhr correctly described the nature of pleurisy, tuberculosis and pericarditis. Az-Zahrawi accurately documented the pathology of hydrocephalus (water on the brain) and other congenital diseases. Ibn al-Quff and Ibn an-Nafs gave perfect descriptions of the diseases of circulation. Other Muslim surgeons gave the first accurate descriptions of certain malignancies, including cancer of the stomach, bowel and oesophagus. These surgeons were the originators of pathology, not Giovanni Morgagni.

—————————————————————————————————-
What is Taught: Paul Ehrlich (19th century) is the originator of drug chemotherapy, that is the use of specific drugs to kill microbes.

What Should be Taught: Muslim physicians used a variety of specific substances to destroy microbes. They applied sulfur topically specifically to kill the scabies mite. Ar-Razi (10th century) used mercurial compounds as topical antiseptics.

—————————————————————————————————-
What is Taught: Purified alcohol, made through distillation, was first produced by Arnau de Villanova, a Spanish alchemist, in 1300 A.D.

What Should be Taught: Numerous Muslim chemists produced medicinal-grade alcohol through distillation as early as the 10th century and manufactured on a large scale the first distillation devices for use in chemistry. They used alcohol as a solvent and antiseptic.

—————————————————————————————————-
What is Taught: The first surgery performed under inhalation anesthesia was conducted by C.W. Long, an American, in 1845.

What Should be Taught: Six hundred years prior to Long, Islamic Spain’s Az-Zahrawi and Ibn Zuhr, among other Muslim surgeons, performed hundreds of surgeries under inhalation anesthesia with the use of narcotic-soaked sponges which were placed over the face.

—————————————————————————————————-
What is Taught: During the 16th century Paracelsus invented the use of opium extracts for anesthesia.

What Should be Taught: Muslim physicians introduced the anaesthetic value of opium derivatives during the Middle Ages. Opium was originally used as an anaesthetic agent by the Greeks. Paracelus was a student of Ibn Sina’s works from which it is almost assured that he derived this idea.

—————————————————————————————————-
What is Taught: Modern anesthesia was invented in the 19th century by Humphrey Davy and Horace Wells.

What Should be Taught: Modern anesthesia was discovered, mastered and perfected by Muslim anesthetists 900 years before the advent of Davy and Wells. They utilized oral as well as inhalant anesthetics.

—————————————————————————————————-
What is Taught: The concept of quarantine was first developed in 1403. In Venice, a law was passed preventing strangers from entering the city until a certain waiting period had passed. If, by then, no sign of illness could be found, they were allowed in.

What Should be Taught: The concept of quarantine was first introduced in the 7th century A.D. by the prophet Muhammad, who wisely warned against entering or leaving a region suffering from plague. As early as the 10th century, Muslim physicians innovated the use of isolation wards for individuals suffering with communicable diseases.

—————————————————————————————————-
What is Taught: The scientific use of antiseptics in surgery was discovered by the British surgeon Joseph Lister in 1865.

What Should be Taught: As early as the 10th century, Muslim physicians and surgeons were applying purified alcohol to wounds as an antiseptic agent. Surgeons in Islamic Spain utilized special methods for maintaining antisepsis prior to and during surgery. They also originated specific protocols for maintaining hygiene during the post-operative period. Their success rate was so high that dignitaries throughout Europe came to Cordova, Spain, to be treated at what was comparably the “Mayo Clinic” of the Middle Ages.

—————————————————————————————————-
What is Taught: In 1545, the scientific use of surgery was advanced by the French surgeon Ambroise Pare. Prior to him, surgeons attempted to stop bleeding through the gruesome procedure of searing the wound with boiling oil. Pare stopped the use of boiling oils and began ligating arteries. He is considered the “father of rational surgery.” Pare was also one of the first Europeans to condemn such grotesque “surgical” procedures as trepanning (see reference #6, pg. 110).

What Should be Taught: Islamic Spain’s illustrious surgeon, az-Zahrawi (d. 1013), began ligating arteries with fine sutures over 500 years prior to Pare. He perfected the use of Catgut, that is suture made from animal intestines. Additionally, he instituted the use of cotton plus wax to plug bleeding wounds. The full details of his works were made available to Europeans through Latin translations.
Despite this, barbers and herdsmen continued be the primary individuals practicing the “art” of surgery for nearly six centuries after az-Zahrawi’s death. Pare himself was a barber, albeit more skilled and conscientious than the average ones.
Included in az-Zahrawi’s legacy are dozens of books. His most famous work is a 30 volume treatise on medicine and surgery. His books contain sections on preventive medicine, nutrition, cosmetics, drug therapy, surgical technique, anesthesia, pre and post-operative care as well as drawings of some 200 surgical devices, many of which he invented. The refined and scholarly az-Zahrawi must be regarded as the father and founder of rational surgery, not the uneducated Pare.

—————————————————————————————————-
What is Taught: William Harvey, during the early 17th century, discovered that blood circulates. He was the first to correctly describe the function of the heart, arteries and veins. Rome’s Galen had presented erroneous ideas regarding thecirculatory system, and Harvey was the first to determine that blood is pumped throughout the body via the action of the heart and the venous valves. Therefore, he is regarded as the founder of human physiology.

What Should be Taught: In the 10th century, Islam’s ar-Razi wrote an in-depth treatise on the venous system, accurately describing the function of the veins and their valves. Ibn an-Nafs and Ibn al-Quff (13th century) provided full documentation that the blood circulates and correctly described the physiology of the heart and the function of its valves 300 years before Harvey. William Harvey was a graduate of Italy’s famous Padua University at a time when the majority of its curriculum was based upon Ibn Sina’s and ar-Razi’s textbooks.

—————————————————————————————————-
What is Taught: The first pharmacopeia (book of medicines) was published by a German scholar in 1542. According to World Book Encyclopedia, the science of pharmacology was begun in the 1900’s as an off-shoot of chemistry due to the analysis of crude plant materials. Chemists, after isolating the active ingredients from plants, realized their medicinal value.

What Should be Taught: According to the eminent scholar of Arab history, Phillip Hitti, the Muslims, not the Greeks or Europeans, wrote the first “modern” pharmacopeia. The science of pharmacology was originated by Muslim physicians during the 9th century. They developed it into a highly refined and exact science. Muslim chemists, pharmacists and physicians produced thousands of drugs and/or crude herbal extracts one thousand years prior to the supposed birth of pharmacology. During the 14th century Ibn Baytar wrote a monumental pharmacopeia listing some 1400 different drugs. Hundreds of other pharmacopeias were published during the Islamic Era. It is likely that the German work is an offshoot of that by Ibn Baytar, which was widely circulated in Europe.

—————————————————————————————————-
What is Taught: The discovery of the scientific use of drugs in the treatment of specific diseases was made by Paracelsus, the Swiss-born physician, during the 16th century. He is also credited with being the first to use practical experience as a determining factor in the treatment of patients rather than relying exclusively on the works of the ancients.

What Should be Taught: Ar-Razi, Ibn Sina, al-Kindi, Ibn Rushd, az -Zahrawi, Ibn Zuhr, Ibn Baytar, Ibn al-Jazzar, Ibn Juljul, Ibn al-Quff, Ibn an-Nafs, al-Biruni, Ibn Sahl and hundreds of other Muslim physicians mastered the science of drug therapy for the treatment of specific symptoms and diseases. In fact, this concept was entirely their invention. The word “drug” is derived from Arabic. Their use of practical experience and careful observation was extensive.
Muslim physicians were the first to criticize ancient medical theories and practices. Ar-Razi devoted an entire book as a critique of Galen’s anatomy. The works of Paracelsus are insignificant compared to the vast volumes of medical writings and original findings accomplished by the medical giants of Islam.

—————————————————————————————————-
What is Taught: The first sound approach to the treatment of disease was made by a German, Johann Weger, in the 1500’s.

What Should be Taught: Harvard’s George Sarton says that modern medicine is entirely an Islamic development and that Setting the Record Straight the Muslim physicians of the 9th through 12th centuries were precise, scientific, rational and sound in their approach. Johann Weger was among thousands of Europeans physicians during the 15th through 17th centuries who were taught the medicine of ar-Razi and Ibn Sina. He contributed nothing original.

—————————————————————————————————-
What is Taught: Medical treatment for the insane was modernized by Philippe Pinel when in 1793 he operated France’s first insane asylum .

What Should be Taught: As early as the 1lth century, Islamic hospitals maintained special wards for the insane. They treated them kindly and presumed their disease was real at a time when the insane were routinely burned alive in Europe as witches and sorcerers. A curative approach was taken for mental illness and, for the first time in history, the mentally ill were treated with supportive care, drugs and psychotherapy. Every major Islamic city maintained an insane asylum where patients were treated at no charge. In fact, the Islamic system for the treatment of the insane excels in comparison to the current model, as it was more humane and was highly effective as well.

—————————————————————————————————-
What is Taught: Kerosine was first produced by the an Englishman, Abraham Gesner, in 1853. He distilled it from asphalt.

What Should be Taught: Muslim chemists produced kerosine as a distillate from petroleum products over 1,000 years prior to Gesner (see Encyclopaedia Britannica under the heading, Petroleum).

about Adam

Prophets are no ordinary human beings. They are sinless, the perfect example of human kind. They lead a certain group of people in a certain period. The leader needs to be perfect, since this is Allah’s leadership.  Allah guide and protect them, they are the special first class breed even if we root it to the genealogy.

Are we agree to this? Good. Now, let’s give it a look at the Adam and Eve’s story.

The common story we heard time to time is that Adam is thrown to the world due to Eve’s mistakes eating the forbidden apple. Referring to the first paragraph, I was thinking… Maybe… Adam knew Eve would eat the apple. And the decision of Adam and Eve to live in the world was not a punishment, rather, it might be a choice. It might be their or Adam’s deal with Allah. He won’t disobey Allah, it can’t be his mistake. And it is impossible for Eve for not knowing, since there’s only Adam and Eve there. Eve must knew whatever Adam knew.

Through my eyes, the story would be like this:

“Adam, Eve, if you guys would like to know the world (earth), you may eat the apple. But if you prefer to live here, then don’t eat the apple”

The Words

Religion is very easy, and whoever overburdens himself in his religion will not be able to continue in that way. So you should not be extremists, but try to be near to perfection and receive the good tidings that you will be rewarded.

Prophet Muhammad (saw) [Sahih Al-Bukhari]

The Book.


But perhaps you hate a thing and it is good for you; and perhaps you love a thing and it is bad for you. And Allah Knows, while you know not. [Quran 2:216]